Senin, 03 Januari 2011

Sejarah Tarling, Alunan Melodi Sarat Pesan Moral

 

Bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara (pantura) Jawa, terutama   Kabupaten Indramayu, Cirebon & sebagian wilayah Brebes, kesenian tarling telah begitu akrab. Alunan bunyi yang dihasilkan alat musik gitar & seruling, seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan didalamnya juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan & menghibur. Meski telah begitu mengakar dalam budaya kehidupan masyarakat, tak banyak yang mengetahui bagai mana asam-muasal kesenian tarling tersebut, tidak diketahui sebenarnya dari mana tarling terlahir. Namun yang pasti, tarling merupakan kesenian yang lahir di tengah kebudayaan rakyat pantura dan bukan kesenian yang "istana-sentris". Oleh sebab itu, tarling terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman & tidak terikat ritme & tatanan tertentu sebagaimana seni yang lahir ditengah "istana" (kesultanan/kerajaan). 


> Sejarah Tarling & Perkembangan Tarling
        Bentuk kesenian ini pada dasarnya adalah suatu pertunjukkan musik, namun disertai juga dengan drama pendek. Secara etimologis, nama tarling diambil dari singkatan dua alat musik yaitu "gitar" & suling. Selain kedua alat musik ini terdapat pula sejumlah perkusi, saron, kempul & gong. 
Awal perkembangan tarling tidak jelas. Namun demikian, pada tahun 1950-an, musik serupa tarling pernah disiarkan oleh RRI Cirebon & menjadikannya populer. Pada tahun 1960-an, pertunjukkan ini sudah dinamakan "tarling" & mulai memasukkan unsur-unsur drama kedalamnya.
        Semenjak meluasnya popularitas musik dangdut pada tahun 1980-an, kesenian tarling-pun terdesak. Ini memaksa para seniman tarling memasukkan unsur-unsur dangdut dalam pertunjukkan mereka, dan hasil perpaduan ini dinamakan "tarling-dangdut". Pada dekade selanjutnya, akibat tuntutan konsumennya sendiri, lagu-lagu tarling dikolaborasi dengan perangkat alat musik elektronik, sehingga terbentuk grup-grup "organ tunggal tarling". Pada era kini, tarling klasik sudanh sangat jarang dipertunjukkan dan sudah tidak populer lagi.
Pertunjukkan tarling tempo dulu


> Tokoh-Tokoh Tarling Terkenal
        Salah seorang tokoh seni asal kabupaten indramayu, Supali Kasim, membuat catatan tersendiri mengenai tarling dalam bukunya yang berjudul "Tarling, Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling". Dalam buku itu dia menuturkan asal tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada seorang komisaris Belanda (Netherland) yang meminta tolong kepada warga lokal yang bernama Mang Sakim, untuk memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim ketika itu dikenal sebagai ahli gamelan.
Usai diperbaiki, sang komisaris Belanda tersebut tak jua mengambil kembali gitarnya. Kesempatan itu akhirnya dipergunakan oleh Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar & membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan. Hal itupun dilakukan oleh anak Mang Sakim yang bernama Sugra. Bahkan, Sugra kemudian bereksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis. Karenanya, tembang-tembang (kiser) Dermayon & Cerbonan yang biasanya diiringi gamelan, bisa menjadi indah dengan diiringi petikan gitar. Keindahan itupun semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi dengan alunan nada suling bambu yang mendayu-dayu," ujar Supali.
Ikon kesenian tarling di kota Cirebon

        Alunan Suling bambu yang menyajikan kiser Dermayon & Cerbonan itupun mulai mewabah sekitar dekade 1930an. Kala itu, anak-anak muda diberbagai pelosok pedesaan di kabupaten Indramayu & Cirebon, menerimanya sebagai gaya hidup. Bahkan pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, & kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lainnya berupa baskom & ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Sugra & teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan (pernikahan ataupun khitanan), meskipun tanpa honor. Biasanya panggungnya pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu petromax (pada malam hari). Tak berhenti sampai disitu, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pagelaran drama (teater). Adapun drama yang disampaikannya berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi ditengah masyarakat. Akhirnya lahirlah lakon-lakon bertema seperti Saida-Saeni, Pegat balen, maupun Lair batin, yang begitu melegenda hingga saat ini. Bahkan lakon Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras airmata para penontonnya.
        Tak hanya Sugra, di Kabupaten Indramayu pun muncul sederet nama yang mempopulerkan tarling hingga ke pelosok daerah. Diantara nama tersebut adalah Jayana, Raden Sulam, Carinih, Yayah Kamsiyah, Hj. Dariyah, & Dadang Darniyah. Pada dekade 1950-an, di Kabupaten Cirebon muncul tokoh tarling bernama Uci Sanusi. Kemudian pada dekade 1960-an, muncul tokoh lain dalam belantika kesenian tarling, yaitu Andul Adjib yang berasal dari Desa Buyut, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Dan ada lagi  yang bernama Sunarto Marta Atmaja, asal Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon.
Abdul Adjib, maestro tarling Cirebon

        Seni tarling pernah mengalami masa-masa suram & hampir punah, namun tarling selamanya tak akan dapat dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura, Indramayu (Dermayon) , Cirebon & wilayah utara Brebes.," tandas Supali
Pada tahun 1998 merupakan tahun bangkitnya kembali lagu-lagu tarling & mencapai puncaknya di tahun 2002 hingga 2006 dengan artis generasi baru.

> Pesan Moral & Pengaruh Sosial-Kultur Pada Lagu Tarling
        Berikut merupakan contoh petikan lirik lagu tarling: 
1)
   Ora tahan duh rasane
   Masih mending putus critane
   Daripada urip diwayu
   Rumah tangga wis pasti rudu...
     
                                        (Emong diwayu, dipopulerkan:  Aas Rolani)

(Translate : 
   Tidak tahan oh rasanya 
   Masih mending putus ceritanya 
   Daripada hidup dimadu
   Rumah tangga wis pasti runtuh


2)
   Lara sih lara
   Gara-gara mboke bocah
   Lunga ning Saudi Arabia
   Kula ning umah mong-mong bocah...

                                       (Nasib TKW, diciptakan : Iip Bakir)
(Translate :
    Sakit sih sakit
    Gara gara ibu anak-anak
    Pergi ke Saudi Arabia
    Saya dirumah mengasuh anak...


        Teks diatas merupakan petikan dari syair lagu bertenakan prahara rumah tangga dari pantura. Lirik lagu-lagu itu memaparkan sebuah fenomena sosial bertema prahara rumah tangga yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keretakan rumah tangga, tetapi juga dinamika sosio-kultural masyarakat pantura.
Sebagai sebuah teks, kedua lirik lagu tersebut tidak berdiri otonom, namun dilatar-belakangi oleh kondisi sosiokultural yang menjadi konteks dari teks tersebut. Stuart Hall, perintis cultural studies dari Birmingham School of Cultural Studies menegaskan bahwa sebuah teks dimaknai dalam tarik-menarik antara proses encoding & decoding. Dalam proses encoding, kita akan memahami latar yang menjadi motivasi pembuat teks & bagaimana konstruksi sosio-kultural yang membentuk teks itu, sementara decoding akan menggiring bagaimana decoder menyusun makna. Dengan demikian, Hall meninggalkan tradisi Gramscian yang melihat pemaknaan teks dalam proses kekuasaan satu arah. Hall melihat bahwa teks hadir sebagai sebuah representasi sosial dan relasi antar-kekuasaan.
        Berbeda dengan syair lagu campursari jawa berjudul "stasiun balapan" karya Didi Kempot, syair-syair lagu rakyat pantura (Indramayu, Cirebon & sekitarnya) punya pesan yang lebih eksplisit. Stasiun balapan hanya bercerita tentang perpisahan seorang lelaki & perempuan tanpa ada kejelasan tujuan kepergian perempuan itu. Hal ini berbeda sekali dengan lagu-lagu tarling diatas.

2 komentar :

  1. Kang kula milu nyalin artikel samlean ning blog kula, ngko di cantum aken alamat blog sampean.

    Thank's..

    BalasHapus

Entri Populer