Jumat, 04 Mei 2012

Bahasa Hibrida Dari Masyarakat Diaspora

“PUNTEN. Cakana boga kotok bibit? Caang tah poek? Kami aya perlu. Kami ndak nanya ka anak kita, daek tah hente? Diterima tah hente? Kami mawa jago ndak ngan-jang. Mun diterima, iye serena. Esina aya gambir, bako, serejeng lainna. Ngges ente Hia, kami ndak goyang, panglamaran diterima mah. Sejen poe, kami ndak nentuken waktu, jeng nentuken poe kawinna.”
....................)

Ada nuansa yang terasa asing pada penggunaan bahasa Sunda seperti di atas. Bahasa yang digunakan mayoritas penduduk di Jawa Barat itu, di Indramayu seperti terjadi distorsi dan akulturasi dengan bahasa daerah lainnya (Cirebon/Indramayu dan Melayu-Betawi).

Bahasa Sunda yang khas itu sudah be-rabad-abad digunakan, yakni di Desa Parean Girang, Bulak, dan Ilir Kecamatan Kandang-haur, serta Desa Lelea dan pemekarannya, Tamansari Kecamatan Lelea. Masyarakat mengenalnya sebagai bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea.

Maksud kalimat di atas adalah, “Katanya punya anak gadis? Sudah punya pasangan belum? Saya ada perlu. Saya hendak bertanya kepada anak saudara, diterima atau tidak? Saya membawa jago hendak melamar. Kalau diterima, ini sirihnya. Isinya ada gambir, tembakau, sirih, dan lainnya. Sudah ya, saya tidak lama-lama, saya hendak pulang, kalau lamaran diterima mah. Lain hari, saya hendak menentukan waktu dan menentukan hari perkawinan.”

Kosakata asing dalam bahasa Sunda bermunculan pada kalimat di atas, seperti kami, kita, goyang. Sepintas kosakata tersebut seperti kata serapan dari bahasa Indonesia. Setelah mengetahui artinya, temyata bukan.
Kami artinya saya, dalam arti tunggal, bukan jamak. Kita berarti saudara. Goyang mengambil serapan dari bahasa Indramayu, yang artinya pulang.

Penggunaan kosakata kami merupakan pengambilan undak usuk yang dianggap halus dibandingkan aing, meski ada yang lebih halus lagi yakni kolo. Kosakata kita juga lebih halus, sebab penggunaan yang kasarnya adala inya. Dalam percakapan sehari-hari tentu saja akan lebih banyak lagi dijumpai kata-kata atau kalimat yang asing. Keasingan itu bisa jadi akan menimbulkan kesalapahaman, bahkan pengertian yang berbeda bagi orang luar.

“Bini aing benang kebanjir” disangka orang luar sebagai “istri saya hanyut oleh banjir”, padahal artinya “benih padi saya hanyut kena banjir”. “Melak waluh, buahna kendi?” disangka sebagai “menanam labu, buahnya kendi?” padahal artinya, “menanam labu, buahnya mana?”

Urutan penyebutan bilangan dari satu sampai sepuluh juga agak berbeda dengan bahasa Sunda, yakni siji, dua, tolu, opat, lima, genep, tuju, delapan, salapan, sepulu. Bisa jadi pula akan dijumpai kosakata, seperti seneng atau senung (anak perempuan), senang (anak laki-laki), kaka (kakak), cowene (gadis), perja-ka (jejaka), laki (lelaki), wewe (perempuan), ataupun ewe aing (istri). Keunikan kosakata seperti itu sering dijadikan “keusilan” bagi pihak luar sehingga muncullah kosakata pa-notog aing untuk menyebut suami.

Jika dalam bahasa Sunda mengenal abjad eu, dalam bahasa Sunda-Parean maupun Sunda-Lea hal seperti itu tampaknya tidak digunakan. Dalam penulisan maupun pengucapan selurunya menjadi e, seperti halnya bahasa Jawa setempat. Pada kosakata heunteu, misalnya, ditulis hente.

Pengaruh Jawa dan Melayu

Secara geografis, komunitas pengguna bahasa Sunda-Parean di Kecamatan Kandang-haur dan Sunda-Lea di Kecamatan Lelea di kelilingi komunitas pengguna bahasa Cirebon Indramayu.

Sangat mungkin beberapa kosakata dari bahasa Jawa atau Cirebon-Indramayu ikut memengaruhi. Begitu pula dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.

Letak kedua kecamatan itu cukup berjauhan sekitar 30 km serta jauh pula dari wilayah Pasundan. Kandanghaur berada di pantai utara, dengan mayoritas penduduknya adalah nelayan sangat mungkin bersentuhan dengan pengguna bahasa daerah lain.

Meski demikian, fanatisme pengguna bahasa Sunda-Parean tetap kuat pada empat desa. Hal yang berbeda pada pengguna bahasa Sunda-Lea yang kini kuantitasnya agak menurun karena kuatnya pengaruh bahasa Indramayu di sekitarnya.

Baik orang Parean maupun Lelea menganggap terciptanya komunitas Sunda terse-but berasal dari pengaruh Sumedang ketika menjadi kerajaan yang cukup masyhur. Wilayah Sumedang hingga mencapai tanah di Indramayu.

Akulturasi yang terjadi kemudian menciptakan masyarakat setempat menjadi dwiba-hasawan. Pengguna bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea memahami bahasa Cirebon-Indramayu, begitu pula sebaliknya. Percakapan sehari-hari antarkeduanya sering kali masing-masing menggunakan bahasanya sendiri, tetapi tetap komunikatif.

Ambil contoh percakapan dua bahasa itu yang dilakukan orang dari Parean yang berbahasa Sunda-Parean dengan orang dari desa tetangga, yakni Desa Eratan yang berbahasa Cirebon-Indramayu.

Orang Parean, “Aing biena ndak nyokot es ke inya. Mung Wa Kaji nawaran es ke kami, jadi kami te enakan, orah?” (Saya tadinya mau mengambil es ke kamu. Tetapi Wak Haji, menawarkan es ke saya. Jadi, saya tidak enakan ten?)

Orang Eretan, Ya, wis beli papa, sejen dina bae.” (Ya, sudah tidak apa-apa. Lain hari saja).

Orang Parean, “Oh, ngges. Suun*n. “(Oh, ya sudah, terima kasih).

Orang Eretan “Nggih.”(Ya).

Sunda-minoritas

Selain empat desa di Kecamatan Kandanghaur dan dua desa di Kecamatan Lelea, bahasa Sunda di Indramayu juga dijumpai di beberapa desa dan kecamatan lainnya. Meski demikian, hampir tak ada perbedaan kosakata dengan bahasa Sunda di Pasundan, selain di alek.

Hal itu karena secara kultural penggunanya adalah masyarakat Sunda yang ada di perbatasan Kabupaten Indramayu dengan Subang maupun Sumedang. Penggunanya antara lain di Desa Cikawung Kecamatan Terisi serta beberapa desa di Kecamatan Gantar dan Kecamatan Haurgeulis. Sedangkan di Blok Karangjaya, Desa Mangunjaya, Kecamatan Anjatan, asal usulnya adalah keluarga dari Bandung pada awal abad ke-20.

Pengguna bahasa Sunda di Indramayu boleh dikatakan minoritas di antara 301 desa dan 31 kecamatan. Menjadi Sunda-minoritas di Jawa Barat memang agak aneh kedengarannya. Ibaratnya Jawa Barat identik dengan Sunda dan Sunda identik dengan Jawa Barat.

Namun demikianlah kenyataannya bagi masyarakat Sunda yang berdiam di Kabupaten Indramayu. Mereka adalah minoritas – dengan segala kekhasannya – di tengah-tengah masyarakat Indramayu yang Jawa.

Menjadi minoritas ataupun mayoritas, tentu saja bukan sesuatu yang salah. Tak ada sudut pandang untuk menjadi merasa kecil ataupun besar.

Keunikan pada bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea dalam kacamata bahasa Sunda, bisa jadi sesuatu yang tidak berbeda jauh ketika bahasa Cirebon-Indramayu dilihat dari kacamata bahasa Jawa yang ada di Solo atau Yogyakarta. Bahasa Jawa yang terasa asing, sekaligus unik

Ini merupakan fenomena budaya masyarakat yang mengalami diaspora (terpisah dari induknya). Di tanah kehidupan yang baru, unsur budaya nenek moyang terjepit dengan unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat. Yang terjadi kemudian proses akulturasi budaya yang dalam gejala kebahasaan ada serapan dan ada juga pelepasan, yang kemudian membentuk bahasa hibrid, yang unik.

Dikutip dari http://bataviase.co.id/

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Entri Populer