Jumat, 19 Agustus 2011

Kemiskinan, Perempuan & Citra Indramayu


Babad Dermayu, sebuah naskah sejarah tradisional berupa tembang macapat, salah satunya mengisahkan heroisme tokoh perempuan bernama Endang Dharma Ayu. Nama lain perempuan itu adalah Siti Maemunah atau Gandasari atau Retna Gumilang atau Ratu Saketi, yang disebut sebagai adik Fatahillah. Konon pada abad ke-16, ia dikirim oleh Sunan Gunungjati dari Cirebon sebagai mata-mata yang tugas utamanya adalah mencuri benda keramat, patung ular sarpa kandaga di Kerajaan Rajagaluh. Tugas itu dalam rangka ekspansi penyebaran agama Islam ke wilayah Rajagaluh dan sekitarnya. Secara politis, wilayah tersebut tetap menolak sebagai bagian dari Cirebon. Secara ideologi dan kepercayaan, pengaruh Hindu masih kuat. Sarpa kandaga adalah simbol kekuatan rakyat Galuh. Jika patung yang dikeramatkan itu lepas, dipastikan kekuatan akan menurun pula. Endang Dharma Ayu mencari pasangan yang cocok untuk tugas tersebut. Ia memilih Raden Aria Wiralodra, yang bermukim di pedukuhan Cimanuk (Indramayu). Akan tetapi saat itu Wiralodra, yang berasal dari Bagelen (Jawa Tengah), justru sedang ”pulang kampung” dan ikut serta memadamkan pemberontakan Banyubiru terhadap Demak. Sebagai ”pejabat” yang diutus Demak ke Indramayu, ia merasa punya kewajiban untuk memadamkan pemberontakan itu.
Akan halnya Endang Dharma, yang kemudian bermukim di pedukuhan Cimanuk, justru dituduh menyebarkan aliran pencaksilat jurus sunan, yang seharusnya tak sembarangan disebarkan. Tuduhan itu berasal dari Pangeran Guru, yang khusus datang dari palembang bersama 24 anak buahnya. Bentrok terjadi. Pangeran Guru dan anggotanya tewas. Konon Pangeran Guru adalah Arya Damar atau Arya Dilah yang merupakan bupati Palembang dari Majapahit, putra Prabu Wikramawardana.

Huru-hara di Cimanuk itu pada akhirnya menempatkan Endang Dharma sebagai ”musuh” penguasa Cimanuk, Wiralodra. Perang tanding tak terelekkan, namun di balik itu api asmara keduanya juga ternyata menyala-nyala. Akhir dari perang itu ada dua versi. Versi pertama, Endang Dharma Ayu kalah, lalu menceburkan diri ke sungai Cimanuk. Ia mohon agar namanya dijadikan nama pedukuhan. Hingga kini Indramayu konon berasal dari nama Dharma Ayu, Darmayu, in-Dermayu (lidah Belanda), lalu Indramayu. Versi kedua, menempatkan kedus sejoli itu sebagai pengantin yang menikah secara rahasia di Pegaden, agar tak diketahui publik, terutama musuh. Nama Indramayu berasal dari Endang Dharma Ayu.
Kiprah Endang Dharma dalam misi mencuri benda keramat di Rajagaluh, dikisahkan berakhir sukses. Rajagaluh akhirnya takluk kepada Cirebon. Meski demikian tak disebutkan bagaimana peran Wiralodra dalam misi tersebut. 
Sebagai sebuah babad, yang merupakan sumber sekunder sejarah, akurasi data dan fakta seringkali lebih dibumbui hal-hal yang bersifat legendaris dan mitologis. Bahkan sumber lain, seperti Babad Cirebon, menyebutkan perempuan yang ikut berperan dalam perang dengan Rajagaluh itu bernama Nyi Mas Gandasari atau Nyi Mas Panguragan, tetapi tak disebutkan identik dengan Endang Dharma. Beberapa historiografi lain juga tak menyebutkan sosok adik Fatahillah yang bernama Endang Dharma. Beberapa sumber lain malah menyebutkan Wiralodra adalah utusan Sultan Agung dari Mataram (bukan Demak), yang berarti memiliki perbedaan waktu hampir seabad. Mataram melakukan ”transmigrasi lokal” dari Jawa ke pesisir utara Jawa Barat sebagai bagian strategi menggempur Batavia, setelah kekalahan tahun 1628-1629 akibat kekurangan logistik dan komunikasi.

Kabupaten Termiskin

Terlepas dari unsur sejarah, legenda, dan mitologi seperti itu, tampaknya keberadaan perempuan Indramayu tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-ekonomi Indramayu yang carut-marut sejak awal dekade 1930. meski memiliki sumberdaya alam (sawah, hutan, laut) yang melimpah, Indramayu dikenal sebagai kabupaten termiskin di Jawa Barat hingga dekade 1970. Ada peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut, yakni ”ayam mati di atas padi”. Bagi kalangan nelayan, setiap kali musim barat (hujan) berarti tak bisa melaut, ada ungkapan ”cul dayung adol sarung” (lepasnya pekerjaan mendayung untuk menangkap ikan di laut, berarti segala macam perabotan di rumah pun harus dijual pula untuk kehidupan sehari-hari, termasuk menjual sarung satu-satunya).
Secara antropologis, penduduk Indramayu yang terlihat kemudian bukan hanya berasal dari Bagelen. Ada wilayah lain yang juga melakukan migrasi ke Indramayu sebelumnya, seperti saat kejayaan Majapahit terlihat pengaruh Majapahit pada daerah-daerah seeprti Kec. Juntinyuat (sebelah timur Indramayu). Arsitektur rumah gaya Majapahit terlihat di wilayah tersebut. Beberapa nama daerah juga menyiratkan keterpengaruhan dari Jawa Timur dan Madura, seperti Kamal, Lombang, Sampang, Tuban, dan Majakerta (Mojokerto).
Di seputar kota Indramayu hingga Sindang, selain pengaruh aristrokrat (mungkin dari Mataram), juga perkampungan Arab dan Pecinan. Sedangkan di kecamatan Lelea dan Kandanghaur, pengaruh Kerajaan Sumedang masih terasa pada kulturnya, terutama bahasa. Bahasa Sunda-Lea dan Sunda-Parean (Sunda-Lelea dan Sunda-Kandanghaur). Di perbatasan Kab. Sumedang, dan Subang (sebagian wilayah Kec. Gantar, Haurgeulis, Kroya, Terisi), penduduk menggunakan bahasa Sunda, walau jumlahnya tak banyak.
Di wilayah barat Indramayu (Kec. Gantar, Haurgeulis, Anjatan, Sukra, Patrol, Bongas) sebagian penduduk berasal dari Tegal-Brebes dan sebagian lagi berasal dari wilayah timur Indramayu dan Cirebon, yang melakukan migrasi pada tahun 1920-an melalui jalur kereta api. Hal itu dilakukan tanah dan hutan di wilayah barat masih perawan. Telah dibangun pula bendungan dan irigasi oleh Belanda.
Percampuran penduduk dari Bagelen (Demak atau Mataram), Jawa Timur, Tegal-Brebes, Pasundan, Arab, dan Cina itu menghasilkan suatu akulturasi yang kini disebut sebagai kultur Dermayu. Mereka mengaku bukan Jawa, bukan pula Sunda. Mereka menganggap wong Jawa adalah wong wetan, sedangkan urang Sunda adalah wong gunung. Satu hal yang penting dicatat, sebagian besar dari mereka adalah kalangan grass-root (wong cilik), kaum migran/transmigran, pinggiran yang terpaksa melakukan perpindahan dari wilayah asal ke Indramayu. Di antara mereka yang mampu bekerja keras, mendapatkan penghasilan, dan mengeluarkan pendapatan secara ketat (irit), akhirnya menjadi kaya. Sebaliknya tak sedikit pula yang gagal, kemudian terkungkung dalam kemiskinan.
Pada kurun waktu tersebut terjadi kondisi yang menjurang antara majikan yang memiliki sawah hingga puluhan hektar dengan buruh tani yang makan untuk sehari saja terkadang tak ada. Begitu pula antara juragan (pemilik perahu) dengan bidak (nelayan anggota). Kehidupan ekonomi buruh sangat bergantung pada majikannya, termasuk kebaikannya dalam memperoleh kesempatan kerja. Begitu pula bidak terhadap juragan. Tak sedikit yang menumpang hidup pada majikan (24 jam mengabdi) dengan tujuan memperoleh makan untuk sanak-keluarga. 24 jam pengabdian itu dari mulai pekerjaan di rumah (memasak, mengisi bak mandi, menyapu, mencuci, pekerjaan di sawah, menumbuk padi, dsb.). Upah yang diterima adalah makan untuk sanak keluarga 2X dan diberi kesempatan mengolah sepetak sawah. Seringkali pula, ongkos mengolah sawah, bibit, dan pupuk berasal dari majikan. Ketika musim panen tiba, hasil padi dipotong biaya sewa dan biaya pengolahan tadi. Sosok seperti ini disebut pawongan.
Kemiskinan dan menjadi buruh secara turun-temurun bisa jadi menyebabkan trauma psikologis dan sosiologis bagi kaum buruh dan bidak. Status kaya pada petani digapai dengan cara-cara yang irit (medit, pelit), sehingga ketika mereka menjadi kaya sifat medit itu tetap berlaku. Misalnya: menanak nasi dengan menggunakan kayu rencekan (mencari kayu) dari ranting pohon bahkan dedak padi, lauk-pauk cukup ikan yang ada di pekarangan atau sawah, termasuk yuyu juga dimakan. Sayur-mayur dari pekarangan. Tak ada sikap hidup konsumtif. Hal yang berbeda ditunjukkan kaum nelayan. Ketika panen ikan, segala macam barang dibeli. Ketika paceklik, segala macam barang dijual.
Kaya harta pada majikan dan juragan, ternyata menghasilkan sikap miskin pandangan. Apalagi yang miskin harta pada buruh dan bidak. Pandangan yang miskin itu antara lain dalam hal pendidikan anak-anak mereka. Seakan-akan tak ada kewajiban orangtua untuk menyekolahkan anak-anak hingga pendidikan tinggi. Tak sedikit yang hanya SD atau tak lulus SD, bahkan tak sekolah sama sekali. Posisi anak perempuan dinomorduakan dibandingkan laki-laki dalam hal pendidikan. Perempuan cukup bisa memasak, bekerja di sawah dan menata rumah, dianggap sudah cukup. Bahkan oleh orang tuanya, laki-laki pun seringkali dianggap tak perlu sekolah karena akan dibekali sawah sekian hektar.
Kemiskinan pandangan juga pada hal-hal lainnya, seperti perkawinan. Ada semacam mitos yang salah kaprah di masyarakat, yaitu ”Lebih baik punya janda usia 15 tahun daripada punya anak gadis usia 18 tahun”. Bagi orangtua, jika putri mereka dilamar, meskipun masih usia 12 tahun, pantang untuk ditolak. Urusan kelanggengan rumah tangga adalah nomor dua. Artinya, kalaupun beberapa bulan kemudian terjadi perceraian, bukanlah hal yang dianggap memalukan. 
Dalam hal lembaga pendidikan dan jumlah guru di Indramayu masih sedikit. Pada dekade 1930-an SR (SD) hanya ada di ibukota kecamatan, yang guru-gurunya mayoritas berasal dari Jawa Tengah. Dekade 1950-an SR (SD) mulai ada di beberapa desa, SMP di tingkat kawedanan, dan SLA hanya ada di ibukota kabupaten (1 SMA, 1 SMEA, dan 1 SGB/SGA (SPG). Tahun 1974 bahkan didatangkan ribuan lulusan SPG dari Yogyakarta dan daerah Priangan. Penambahan jumlah sekolah dan guru tampak mulai ada pada dekade 1990-an.

Eksploitasi Seni

Trauma sosiologis dan psikologis pada anak-anak kaum buruh dan bidak seakan-akan menemukan ”kran” pembuka, jika mereka mampu melepaskan diri dari ikatan keluarga secara ortodok. Kran itu adalah jika mereka berbakat menjadi seniman. Bagi perempuan, menjadi pesinden (penyanyi), adalah sebuah pemberontakan tersendiri dari keluarga dan lingkungan sejak dekade 1930-an. Saat itu seni yang muncul adalah sandiwara (ketoprak), tarling, wayang kulit, wayang golek cepak, sintren, dombret, genjring, tayuban, dan lainnya. Pandangan masyarakat, perempuan menjadi seniman tari ataupun pesinden (penyanyi) adalah sesuatu yang dianggap “melatar” (jalang, genit, ganjen). Menjadi seniman, dianggap merupakan profesi yang terbuka mengundang laki-laki untuk menggoda.
Tayuban, sebagai tari pergaulan, menempatkan penari perempuan sebagai penghibur laki-laki dengan goyangannya, kemudian mendapatkan sawer. Di situ juga diramaikan dengan minuman keras, yang konon meniru gaya orang Belanda ketika berpesta. Tak sedikit penari atau pesinden yang diincar laki-laki berduit, kemudian menjadi istri simpanan atau bukan simpanan.
Seni dongbret, malah secara vulgar melakukan eksploitasi seni. Penari perempuan yang disawer, dalam waktu beberapa menit, bisa diajak si penyawer ke tempat yang agak gelap, kemudian dicium-cium dengan imbalan beberapa rupiah saja. Biasanya pertunjukan dilakukan di daerah pangkalan nelayan sehabis pulang dari melaut. 
Kran keterbukaan makin menganga ketika Jakarta menggeliat sebagai ibukota dan kota metropolitan sejak 1970-an. Jarak yang relatif dekat (Indramayu-Jakarta hanya 4-5 jam dengan bus antarkota atau 3-4 jam dengan kereta api) menjadi pilihan untuk mengadu nasib bagi anak-anak kaum buruh yang trauma akan kemiskinan di kampung. Taak sedikit perempuan Indramayu yang terjerumus ke bisnis esek-esek di Kramat Tunggak dan tempat lainnya. Taak sedikit pula yang secara ekonomi berhasil menghilangkan kemiskinan. Di kampung, mereka membeli sawah, membangun rumah, membeli kendaraan, perhiasan, baju bagus, dsb.
Daya tarik inilah yang menjadi obsesi bagi para keluarga miskin untuk melakukan upaya ”instan” menghapus kemiskinan yang bertahun-tahun disandang seperti secara genealogis. 
Jika kini Indramayu dikenal sebagai daerah pemasok pelacur, mungkin ada benarnya. Beberapa penyebabnya antara lain himpitan ekonomi, pendidikan rendah, pemahaman agama yang rendah, standar moral yang rendah, sikap hidup konsumtif, patah hati, dendam (tak dikawin pacar padahal sudah tak gadis lagi, dicerai suami), bahkan ada pula yang berlatar sejarah (di sebuah kecamatan ada beberapa perempuan yang berawal menjadi selir di keraton secara tak resmi).
Sedangkan motivasinya antara lain kemauan diri-sendiri (karena patah hati, ingin punya banyak uang, ingin menunjukkan kemandirian, dsb, diajak teman/saudara yg sudah terjun lebih dulu, didorong suami (karena himpitan ekonomi), dan didorong orangtua (ekonomi), tergiur oleh keberhasilan orang lain yang sukses secara ekonomi (punya rumah bagus, kendaraan, sawah). Modus baru yang terlihat kini adalah dengan alasan berangkat ke kota sebagai pelayan restoran, diskotik, penari di luar negeri, dsb. Seringkali mengatasnamakan seni, yang terjadi adalah eksploitasi esek-esek. 
Tidaklah heran jika ada mem-pleset-kan Kota Indramayu sebagai ”Kota Mangga” menjadi ”mangga mampir, mas!!!”, atau ”Kota Pelem” sebagai ”pelempuan”, atau sebutan ”Kota Ayu” dengan mempanjangkannya menjadi ”ayu mana, ayu mene!”. 
Yang dilakukan pemerintah kabupaten terlihat dengan membuat program yang berhubungan dengan pencegahan maupun pemberantasan penyakit tersebut, seperti razia, pencegahan traficking, penyuluhan, workshop, dsb. Motto pun dijunjung tinggi dengan penempatan relijiositas sebagai bidang nomor satu, yaitu visi ”Remaja” (relijius, maju, mandiri, sejahtera).
Pencegahan dini dilakukan di sekolah-sekolah dengan penanaman pendidikan agama, seperti kewajiban mengaji 15 menit sebelum pelajaran dimulai, wajib berbusana muslim, bersekolah di Madarsah Diniyah Awaliyah (MDA) bagi anak SD pada sore hari. Akankah efektif? Kita tunggu!

1 komentar :

  1. ADAKAH YANG MENGETAHUI SEJARAH DAN PERAN

    RADEN MACHMOED M.T. KE X

    RADEN DEDI ZUHATA M.T. KE XI


    BalasHapus

Entri Populer