Rabu, 15 Desember 2010

"Nasib TKW", Sebuah Balada Rakyat Indramayu

...Males temen nasib TKW, maksud ati pengen manggawe

Kanggo mbantu ekonomi keluarga

Mangkat kerja ning Saudi Arabia...

Bli digaji sampe taunan, awak rusak ilang kehormatan

Kaniaya nasibe wong ra duwe, nyawa TKW langka ragane....
Arep njaluk tulung ning sapa, Arabia jagate sapa
Yen wis inget wong ra duwe, rasa ngenes balik bli bisa

(Nasib TKW, Ciptaan Papa Irma)

(Terjemahan:

Kasihan sekali nasib TKW, maksud hati ingin bekerja

untuk membantu ekonomi keluarga

berangkat kerja ke Saudi Arabia...

tidak digaji sampai bertahun-tahun, badan rusak hilang kehormatan

teraniaya nasib orang miskin, nyawa TKW murah harganya

mau minta tolong pada siapa, Arabia dunia siapa
jika sudah ingat orang miskin, rasa sedih tidak bisa pulang)



Lara sih lara
Gara-gara mboke bocah
Lunga ning Saudi Arabia
Kula ning umah mong-mong bocah....

(Duda Kepaksa, Ciptaan Iip Bakir)

(Terjemahan:

Sakit sih sakit

gara-gara ibu anak-anak

pergi ke Saudi Arabia

Saya di rumah mengasuh anak)


     Teks di atas adalah petikan dari syair dua lagu bertemakan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Indramayu. Cobalah Anda melihat-lihat kios kaset di Pasar Indramayu. Di situ Anda akan menemukan kaset-kaset dangdut cirebonan dengan lirik berisi seputar nasib TKI. Karakter musiknya tersusun oleh inkulturasi antara musik tradisional Cirebon dan dangdut modern dalam beat mengentak. Di sebuah kios di Pasar Indramayu, ada sekitar lima kaset dengan masing-masing satu sampai dua lagu yang bertema TKI. Lirik lagu-lagu itu memaparkan sebuah fenomena sosial bertema TKI yang sangat memengaruhi tidak hanya kehidupan ekonomi, tetapi juga dinamika sosial kultural masyarakat Indramayu.

     Sebagai sebuah teks, kedua lirik lagu itu tidak berdiri otonom, tetapi dilatari oleh konstruksi sosial kultural yang menjadi konteks dari teks tersebut. Stuart Hall, perintis cultural studies dari Birmingham School of Cultural Studies menegaskan bahwa sebuah teks dimaknai dalam tarik-menarik antara proses encoding dan decoding. Dalam proses encoding, kita akan memahami apa latar motivasi pembuat teks dan bagaimana konstruksi sosial kultural yang membentuk teks itu, sementara decoding akan menggiring bagaimana decoder menyusun makna. Dengan demikian, Hall meninggalkan tradisi Gramscian yang melihat pemaknaan teks dalam proses kekuasaan satu arah. Hall melihat bahwa teks hadir sebagai sebuah representasi sosial dan relasi antarkekuasaan.
     Dalam khazanah pembahasan lirik lagu, konteks menjadi salah satu hal penting dalam memaknai lirik. Susan Donley (2001) melihat adanya keterkaitan yang kuat antara syair lagu dan realitas sosial. Dia membagi fungsi syair lagu menjadi tiga, yaitu fungsi literatur, fungsi dokumentasi sejarah, dan fungsi dokumentasi sosial. Fungsi literatur menekankan aspek tema dan pesan dalam syair. Fungsi dokumentasi sejarah melihat aspek tata nilai, kepercayaan, dan peristiwa dalam sebuah kurun waktu tertentu. Sementara fungsi dokumentasi sosial melihat aspek representasi tren, motivasi, dan pengalaman pembuat syair, serta untuk siapa syair itu dibuat.

      Dari syair Imagine karya John Lennon, kita bisa memahami bagaimana latar politik Perang Vietnam. Demikian pula Song of Bangladesh yang dinyanyikan oleh Joan Baez bermakna sangat kuat sebagai sebuah deskripsi duka lara terhadap tragedi kemiskinan di Bangladesh. Syair opera-opera Giacomo Puccini pun sangat kental oleh konteks romantisisme aristokrat dan pertentangan kelas masyarakat Eropa abad ke-19. Lirik-lirik negro spiritual dibentuk oleh sejarah perbudakan di Amerika. Di balik syair Stasiun Balapan karya Didi Kempot juga tersimpan konteks besar di mana terjadi transisi peran dari perempuan Jawa yang domestik menjadi perempuan yang bepergian ke luar kota. Contoh-contoh di atas hanya ingin menegaskan betapa lirik lagu sangat tidak independen, tetapi saling tergantung dengan situasi sejarah aktual.
      Berbeda dengan syair lagu Stasiun Balapan, syair-syair lagu rakyat dari Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya di atas punya pesan yang lebih gamblang. Stasiun Balapan hanya bercerita tentang perpisahan seorang laki-laki dan perempuan tanpa kejelasan tujuan kepergian perempuan itu. Ini berbeda sekali dengan lagu-lagu cirebonan di atas. Papa Irma, sang pencipta lagu, dengan sangat jelas menceritakan nasib para TKI lewat lagu Nasib TKW. Kelugasan muncul lewat frase "kanggo mbantu ekonomi keluarga" (untuk membantu ekonomi keluarga). Pemilihan kata ekonomi secara paradigmatis menyajikan pilihan tentang kejujuran sosial yang telanjang. Rasanya sulit sekali menemukan kata ini dalam banyak syair lagu di Indonesia. Padahal, ekonomi menjadi salah satu sumber masalah penting bangsa ini. Syair tentang kisah klasik tidak dibayarnya gaji para TKI karena dirampas para agen di luar negeri juga tidak menyediakan ruang konotasi sama sekali. Lihatlah frase "bli digaji sampe tahunan, awak rusak ilang kehormatan" (tidak digaji sampai bertahun-tahun, badan rusak kehilangan kehormatan). Bukankah frase ini sangat representatif terhadap kisah-kisah pilu TKI yang pada masa pemerintahan baru ini tetap saja kita dengar?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Entri Populer