Senin, 23 April 2012

Nadran, Tradisi Sedekah Laut Yang Kehilangan Esensinya

Upacara Nadran merupakan upacara tradisional sedekah laut. Nadran berasal dari bahasa Arab , yaitu nadar yang artinya syukuran. Maksud diselenggarakannya upacara nadran sebagai ungkapan rasa syukur nelayan kepada Tuhan YME atas hasil ikan yang diperolehnya dan memohon agar di masa yang akan datang dapat menghasilkan lebih banyak lagi, untuk menghormati leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal adanya ikan di laut yaitu Bedug Basu, dianggap sebagai tokoh yang dipercaya masyarakat sebagai cikal bakal adanya ikan. Selain itu juga untuk meminta keselamatan, agar nelayan terhindar dari gangguan roh-roh halus yang jahat.

Di tengah gencarnya kemajuan teknologi informasi dan pengaruh budaya barat, salah satu budaya lokal nusantara yang masih terus menggeliat dalam mempertahankan tradisis leluhurnya hingga sekarang adalah tradisi ‘Nadran’ di daerah pesisir pantai utara Cirebon. Tradisi ‘Nadran’ dikenal juga sebagai pesta atau sedekah laut, sedekah bumi, upacara buang saji atau labuh saji. Dalam prosesi pelaksanaannya biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat sesajen lainnya dilarung ke tengah laut lepas dan kepala kerbau tersebut ditenggelamkan. Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagi-bagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut sebagai bancaan atau berkah. Umumnya upacara ini disertai dengan penyajian tari-tarian, pegelaran wayang kulit, doa-doa dan mantra dan sesajen.

Tradisi ini memiliki landasan filosofis yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat sebagai salah satu cara bagaimana masyarakat nelayan mengekpresikan rasa syukur mereka pada Sang Maha Pencipta atas tangkapan ikan yang mereka peroleh serta permohonan keselamatan dalam mencari nafkah di laut. Hal yang menarik dari tradisi Nadran adalah kandungan nilai-nilai filosofis yang termuat dibalik rangkaian upacara tersebut.

Karnaval (arak-arakan) untuk pesta laut "Nadran"

“Nilai-nilai filosofis yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural dan religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-upacara yang disajikan melalui bentuk-tari-tarian, nyanyian, doa-doa dan ritus-ritus lainnya,” kata Dekan FISIP Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon ini. Menurut isteri dr Askar Chusaeri SpB ini pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut kemudian dapat ditransformasikan dalam membangun kehidupan masyarakat kelautan ke taraf yang lebih maju dan lebih baik, baik dari sisi pendidikan, ekonomi maupun solidaritas sosial budaya.

“Nadran sebagai sebuah tradisi yang lahir dari masyarakat pesisir sangat berguna dalam memperkaya konsepsi dan tujuan pembangunan nasional berbasis kelautan. Salah satunya di bidang pendidikan. Penjabarannya dapat dilakukan dengan memuat muatan tradisi lokal pada kurikulum sekolah nasional maupun menjadi salah satu mata kuliah yang perlu diajarkan di perguruan tinggi,” jelasnya.

Dalam konteks relasi sosial, tradisi ‘Nadran’ dapat meningkatkan persaudaraan antar warga desa yang selama ini warga yang tinggal di sekitar pesisir dikenal memiliki watak dan karakter yang keras. Meskipun demikian, Heriyani mengkritisi jika dalam konteks kekinian, Nadran tidak lagi terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, namun lebih ke arah sarana hiburan semata bagi masyarakat.

“Nadran seolah kehilangan ruhnya, ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang telah mulai meninggalkan pesan-peasan moral, bahkan hiburan yang menyertai Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan. Dengan demikian Nadran terkadang hanya sebagai pawai budaya, dan ini perlu dibenahi kembali oleh pemerintah daerahnya.

Selasa, 17 April 2012

Wayang Cepak Cirebon

Asal-usul wayang cepak di Cirebon bermula ketika Élang Maganggong, putra Ki Gendeng Slingsingan dari daerah Talaga, berguru agama Islam kepada Suta Jaya Kemit, seorang upas (sama dengan satpam sekarang) di Gebang yang pandai mendalang. Élang Maganggong di kemudian hari menurunkan ilmunya kepada Singgih dan keturunan-keturunan Singgih yang berkedudukan di Desa Sumber, Kecamatan Babakan. Peristiwa inilah yang membuat wayang cepak menyebar ke beberapa wilayah Cirebon bagian Timur seperti Waled, Ciledug, Losari dan Karang Sembung, serta Cirebon bagian Barat yang meliputi daerah Kapetakan dan Arjawinangun.

Wayang ini terbuat dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda / papak = bhs Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang cepak atau wayang papak. Dilihat dari bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan pengembangan dari wayang kulit, wayang golek atau wayang menak yang berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak biasanya membawakan lakon-lakon Menak, Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di daerah Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad Cirebon, juga babad Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan bahasa Jawa Cirebon.

Pertunjukan wayang cepak Cirebon dewasa ini kurang mendapat sambutan. Pertunjukannya hanya terbatas pada upacara adat seperti Ngunjung Buyut (nadran, ziarah), acara kaul (nazar) dan ruwatan (ngaruwat = melakukan ritus inisiasi), yaitu menjauhkan marabahaya dari diri sukerta (orang yang diruwat). Dan orang yang diruwat ini biasanya berupa: wunggal (anak tunggal), nanggung bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia) atau suramba (empat orang putra), surambi (empat orang putri), pandawa (lima putra), pandawi (lima putri), talaga tanggal kausak (seorang putra diapit dua orang putri), dan lain sebagainya.


Dalam pertunjukannya di masyarakat, wayang cepak Cirebon memiliki struktur yang baku. Adapun susunan adegan wayang cepak Cirebon secara umum sebagai berikut :

  1. Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer / kawit, murwa, nyandra, suluk / kakawen dan biantara
  2. Babak unjal, paseban, dan bebegalan
  3. Nagara sejen
  4. Patepah
  5. Perang gagal
  6. Panakawan / Goro-goro
  7. Perang kembang
  8. Perang Raket
  9. Tutug
Waditra yang mengiringi wayang cepak pada awalnya berlaras pelog, tetapi karena untuk menyesuaikan situasi dan kondisi, waditra yang dipakai diberi berlaras salendro. Waditra ini meliputi gambang, gender, suling, saron I, saron II, bonang, kendang, jenglong, dan ketuk. Sementara beberapa lagu yang mengiringi pertunjukan wayang cepak, di antaranya Bayeman, Gonjing, Lompong Kali, Gagalan, Kiser Kedongdong dan lain-lain.

Entri Populer